May 02, 2012

Cerpen : Merah Pekat

MERAH PEKAT

Oleh Fransisca Dewi Ria Utari

Kenangan serupa lumpur yang mengendap di dasar sungai. Mengeras menjadi kerak menunggu hujan turun untuk mengangkatnya kembali menjadi satu dengan aliran air. Begitulah kenanganku tentang rumah benteng. Telah lama sosok rumah yang terletak di atas bukit di belakang rumahku, menjadi kerak di ingatanku.



Telepon dari ibuku siang ini seolah hujan deras yang kembali melarutkan kerak itu. “Yasmin, minggu ini kamu bisa pulang? Ada pertemuan keluarga. Tepat seribu harinya kakek. Surat wasiatnya akan dibuka. Ibu harap kamu pulang.” Suara ibuku terdengar mendesak. Intonasi yang terakhir kali digunakannya saat menyuruhku kawin. Sayangnya tak mempan hingga kini. Toh untuk permintaannya kali ini, aku berniat mempertimbangkannya. Demi kenanganku akan kakek.
Dulu hampir seminggu sekali aku menginap di rumah kakek. Ibuku menitipkanku di sana karena aku tak bisa bicara meski sudah berumur dua tahun. Mereka berharap kakekku yang seorang psikolog bisa menyadarkanku. Aku yakin istilah yang tepat saat itu: menyembuhkanku. Aku sendiri tak pernah merasa sakit atau bahkan disembuhkan. Di rumahnya, kakek hanya memberiku kertas dan pensil warna. Lalu mengajakku jalan-jalan ke sekeliling rumahnya yang ketika itu tak banyak memiliki tetangga. Jika ada obyek yang menarik, aku biasanya menarik tangan kakek, sebagai tanda aku ingin berhenti di tempat itu. Sambil menggambar benda yang membuatku tertarik, kakek biasanya menjelaskan nama dan seluk-beluknya.
Semakin hari benda-benda yang kugambar bertambah. Begitu pula cerita dari kakek. Hanya satu benda yang kisahnya tak pernah diceritakannya. Yaitu rumah benteng. Dari rumah kakek, rumah benteng terlihat seperti menara di ujung bukit. Tak sepenuhnya bukit. Dari mata kanak-kanakku, aku merasa rumah itu tinggi karena jalan menuju ke sana menanjak.
Meski tak mau bercerita, kakekku membiarkanku berhenti di pintu gerbang rumah benteng. Ia hanya terdiam sambil menungguiku menggambar. Saat aku selesai menggambar, kutarik tangannya mengajak masuk. Namun, kakek menolak. “Rumah ini kosong, Yasmin. Kita pulang saja,” ujarnya pelan. Saat itulah aku mengucapkan kata pertamaku. “Rumah”.
Sejak mengucapkan kata pertama itu, aku tak lagi dititipkan ibuku ke rumah kakek. Meski aku merengek sekalipun, ibu tak pernah menurutiku untuk pergi ke sana. Sebagai gantinya, kakek yang sesekali datang ke rumah. Ia membawakanku banyak buku bergambar dengan cerita di bawahnya. Tetap saja semua gambar dan kisah dari buku-buku itu tak bisa menggantikan ingatanku tentang rumah benteng.
Kenapa selalu kusebut rumah benteng? Ketika terus kutanya tentang rumah itu di setiap kunjungannya, akhirnya kakek berkisah. Rumah itu sudah ada di daerah itu jauh sebelum kakek membangun rumahnya. Karena bentuk dindingnya yang membulat seperti benteng, penduduk sekitar menjulukinya rumah benteng.
Tak ada yang tahu kapan tepatnya rumah itu berdiri. Bahkan sebelum penghuni pertama daerah itu datang, rumah itu sudah ada di puncak bukit. Kata kakek, dari dulu kondisi rumah itu tak pernah berubah. Dindingnya terbuat dari batu warna abu-abu. Pintu rumah itu berwarna cokelat tua dari kayu jati. Ada bandul besi berbentuk kura-kura yang berfungsi untuk pengetuk pintu. Pernah ada orang yang memberanikan diri mengetuk pintu itu. Tentu saja, ia tak sendirian. Ditemani lima orang yang dengan waswas menunggu seseorang muncul dari pintu. Namun, ditunggu hingga satu jam, tak ada seorang pun yang membuka pintu, bahkan sedesis suara pun tak terdengar.
Percobaan untuk berkomunikasi dengan rumah itu sudah dilakukan berkali-kali oleh penduduk desa itu. Berkali-kali mereka mencoba mengetuk pintu depan. Mengelilingi rumah untuk mencari pintu belakang, tetapi tak ada. Begitu pula melempari jendela kaca besar yang berjumlah tujuh. Dua yang besar di bagian depan, tiga di bagian belakang, dan dua masing-masing di samping kiri dan kanan.
Meski tak ada jawaban, sebagian penduduk tetap meneruskan usaha mereka untuk memancing siapa pun atau apa pun yang ada di dalam rumah itu untuk keluar. Pasalnya, mereka pernah melihat seberkas cahaya muncul dari dalam rumah itu menembus kaca jendela. Kadang dari depan, samping, atau depan. Cahaya yang muncul berwarna ungu. Membuat penduduk heran, lilin macam apakah yang bisa memunculkan warna ungu.
Akhirnya mereka memutuskan rumah itu menyimpan misteri. Ada yang beranggapan berhantu. Sebagian lagi meyakini rumah itu dijadikan persembunyian penjahat. Golongan ini biasanya berusaha memasuki rumah itu dengan paksa untuk membuktikan asumsinya. Namun, alih-alih terbukti, untuk mendobrak pintu atau memecahkan kaca jendela pun gagal dilakukan. Sisanya memilih menganggap rumah itu sebagai pelindung daerah itu. Semacam sesepuh. Peninggalan leluhur yang mungkin pertama kali tiba di daerah itu. Kepercayaan ini dianggap paling masuk akal melihat bentuk rumah itu yang seperti benteng. Mungkin untuk berlindung dari serangan musuh.
Keberadaan misteri yang melingkupi rumah itu menjadikannya semakin terkucil. Para lelaki dewasa membuat rute ronda malam hari menjauhi rumah itu. Tak ada pedagang yang melewatinya. Meski jalan berbatu dan sedikit menanjak bagus untuk olahraga, orang-orang tua mencari jalan lainnya saat lari pagi. Apalagi anak-anak. Mereka paling gampang ditakut-takuti orangtuanya untuk menghindari rumah itu. Dari hantu berbentuk siluman, jin, hingga peri, ampuh untuk membuat mereka tak selangkah pun berani mendekatinya.
Kakek berbeda dengan penduduk lainnya. Ia tak pernah melarangku pergi ke rumah benteng. Ia hanya mengingatkanku untuk tak melewati pagar yang mengelilingi rumah itu. Aku mematuhi perintah kakekku walau ada godaan besar dalam diriku untuk memetik bunga mawar beragam jenis yang entah mengapa tumbuh begitu indah dan teratur di halaman rumah itu. Seperti ada tangan yang tak tampak telah dengan sengaja menanam bunga-bunga itu.
Aku kembali diajak ibu ke rumah kakek saat berusia lima tahun. Kakek tak lagi sering menemaniku berjalan-jalan. Selain karena kembali mengajar di sebuah universitas swasta, aku sudah mulai bisa berbicara. Suatu hari aku memberanikan diri mengunjungi rumah benteng. Tentu saja tanpa sepengetahuan kakek. Saat itulah aku bertemu Dante.
Ketika aku tengah ragu menimbang apakah aku sebaiknya nekat saja masuk ke halaman rumah benteng itu untuk mengambil beberapa kuntum mawar atau menuruti petuah kakek, aku dikagetkan sosok seorang bocah lelaki berambut ikal cokelat kemerahan yang berdiri di sebelahku.
“Kamu takut?”
Aku mengangguk.
“Kenapa?”
“Tak tahu. Aku hanya takut dimarahi kakek.”
“Ia tidak di sini. Tak mungkin ia tahu. Atau mau aku yang memetikkan mawar untukmu?”
Aku menggeleng. Tubuhku tetap mematung. Ia kemudian menggandeng tanganku dan mengajakku masuk. Bersamanya, aku memetik tiga kuntum mawar. Kuning, putih, dan pink.
“Aku harus pulang. Terima kasih sudah menemaniku memetik bunga.”
Ia tersenyum.
“Namaku Dante. Kembalilah ke sini kalau kamu menginginkannya lagi. Ini khusus untukmu,” ujarnya sambil mengulurkan setangkai mawar berwarna merah pekat. Aku menerimanya dengan tangan kananku yang sudah penuh dengan tiga tangkai mawar. Tangan kecilku yang tak mampu menggenggam sebanyak itu pun tertusuk duri tepat di jari tengah. Dengan sigap, Dante mengambil jariku dan mengisapnya pelan. Aku termangu melihat pipi pucatnya perlahan bersemu merah.
“Nah, sekarang darahmu sudah berhenti menetes. Begitu sampai rumah jangan lupa diobati, ya.”
Kami masih bergandengan tangan sampai keluar pintu gerbang. Meski hanya diam, aku yakin ia memahami senyuman di hatiku. Aku berlari menyusuri jalan menurun menuju rumah kakek. Saat aku berbalik, tak lagi kulihat sosoknya. Itulah saat terakhir aku melihatnya. Karena seminggu kemudian, ibu mengajakku pindah mengikuti suami barunya.
Tak banyak hal yang tersampaikan di surat wasiat kakek. Ia menginginkan rumahnya dibagi secara adil untuk ibu dan tante. Akhirnya mereka berdua memilih untuk menjual dan membagi uangnya. Aku sama sekali tak berminat dengan pembicara soal harta. Aku sendiri memutuskan datang demi kenanganku akan kakek dan rumah benteng.
Selagi seluruh keluarga membicarakan warisan, kuputuskan untuk mengunjungi rumah benteng. Senja mulai membentangkan cahaya pucat matahari. Baru kusadari, jalanan menanjak tak seberapa berat dibanding tubuh kecilku di masa lalu. Napasku tak sampai terengah saat aku sudah tiba tepat di depan gerbang rumah yang tetap sama saat terakhir kali kulihat di usiaku yang kelima.
Mawar aneka rupa masih rimbun bersemak di halaman. Hampir tak percaya ketika aku melihat Dante berdiri di sebelah semak mawar berwarna merah pekat. Warna yang sama dengan mawar yang ia berikan 20 tahun lalu. Sosok Dante pun masih sama. Bocah kecil seperti diriku 20 tahun silam dengan rambut keriting cokelat menaungi wajah pucatnya. Ia melambai. Mengajakku masuk. Aku terdiam. Otakku sempat memerintahkan tubuhku untuk berbalik dan berlari menjauhi rumah ini. Namun, mata bening Dante mengembalikanku pada kenangan akan ayah dan kakek. Seolah dua sosok yang selama ini menambal kekosongan di dadaku itu kembali hadir. Nyata teraih mata.
Kusambut tangan Dante yang terulur. Berdua dengannya, aku melangkah menuju rumah benteng. Aku mendapati pintu rumah itu terbuka lebar. Di ambang pintu, kulihat ayah dan kakekku berdiri. Mereka mengulaskan senyum yang selalu kukenali di setiap mimpi. Langkahku setengah bergegas, tetapi kecepatan langkahku tak bisa kutambah. Kurasakan genggaman Dante memberat. Menahan tubuhku untuk segera menghampiri kakek dan ayahku.
“Kamu tak bisa ke sana. Mereka berbeda denganmu,” ujar Dante sambil menghentikan langkahku.
“Aku tak melihat bedanya.”
“Mereka malam. Kamu siang.”
“Tak bisakah keduanya?”
“Manusia harus memilih. Begitu pula dirimu.”
Aku terdiam. Kuarahkan pandanganku kembali ke ayah dan kakek. Mereka tetap mengulaskan senyum yang menghangatkan dadaku. Bimbang hati, kualihkan pandanganku ke Dante. Semburat jingga di cakrawala berada di belakang punggungnya. Sisa sinar senja sore hari di balik tubuhnya membuat Dante serupa gambar malaikat kecil yang mencahayakan kesucian. Perwujudannya mendorongku membulatkan keputusan yang selama ini menjadi mimpi-mimpiku yang tak pernah lagi kuingat saat terbangun. “Aku memilih malam.”
Dante mengulurkan mawar merah pekat di genggamannya. Saat aku menerimanya, kusadari tubuhku mengecil. Aku gadis kecil 20 tahun silam. Sebaya dengannya, setinggi tubuhnya. Seiring redupnya matahari, yang tinggal menyisakan bayang abu-abu di tanah, kurasakan nafas Dante kini mendekat di telingaku. Ia menyibakkan rambutku. Tanpa sempat menentukan rasa di indera perabaku, kurasakan bibirnya mencecap leherku.
Kurasakan darahku mengalir deras menuju ke satu titik di leherku yang tengah dikecupnya. Alih-alih merasakan darahku terisap, di balik mataku yang terpejam, kulihat semua kenangan tentang apa pun yang pernah kulalui sebagai manusia, terbang berhamburan meninggalkan diriku. Mendesis, menguap, menghilang. Aku serupa kotak yang kembali kosong.


Dalam hitungan beberapa menit, malam menjadi terang di mataku. Bisa kulihat jelas ribuan kelelawar menggantung di ketinggian teritisan atap rumah benteng. Bahkan, bisa kutangkap gerakan semut yang bergerak pelan di sebatang pohon yang berjarak dua meter dariku.
Ketimbang merayakan perubahan yang kualami, aku memilih untuk menghambur ke pelukan ayah dan kakek yang masih berdiri di ambang pintu rumah benteng. Mereka menyambutku dengan kehangatan yang kukenal. Kami melangkah masuk, diikuti Dante yang berjalan tanpa suara. Sejak malam itu, aku berdiam di rumah benteng dalam hitungan waktu tak bertepi. Tentunya mereka yang mencariku hanya akan menemukan setangkai mawar merah pekat di depan pintu yang tertutup tanpa bisa dibuka oleh tangan manusia. Mawar itu tak pernah layu. Selamanya merah pekat. Seperti darah yang memikat.

Sumber : http://cerpenkompas.wordpress.com/2008/05/11/merah-pekat/